Archive for 2014
PARAMETER
FERMENTASI RUMEN PADA SAPI PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN YANG DIBERI PAKAN BASAL
JERAMI PADI DENGAN SUPLEMENTASI SUMBER NITROGEN DAN ENERGI BERBEDA [Rumen
Fermentation Parameters in Friesian Holstein Grade Cattle
Fed
Rice Straw as Basal Feed with Different Nitrogen and Energi Source
Suplementations]
L.K. Nuswantara*, M. Soejono, R. Utomo, B.P. Widyobroto,
dan H. Hartadi
*Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
ABSTRAK
Penelitian telah dilaksanakan dengan tujuan untuk
mengkaji parameter fermentasi rumen pada sapi Peranakan Friesian Holstein yang
diberi ransum berpakan basal jerami padi dengan prekursor nitro-gen (PDIN),
tinggi prekursor energi (PDIE) tinggi dan prekursor nitrogen-energi seimbang
(PDIS). Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang system
evaluasi protein baru untuk meningkatkan efisiensi penggunaan nutrien pada
ruminansia.
Penelitian ini dilaksanakan selama 4 minggu di Jurusan
Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
Penelitian menggunakan 5 ekor sapi PFH betina yang difistula bagian rumennya
berumur 2,5 sampai 3 tahun dengan bobot badan 250 – 300 kg. Variabel yang
diamati meliputi pH, NH3 dan volatile fatty acids (VFA). Data
yang diperoleh dianalisis variansi dan jika terdapat perbedaan pengaruh
perlakuan dilanjutkan uji wilayah ganda Duncan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi NH3
pada sapi perah yang mendapat suplementasi PDIN tinggi (12,99) nyata lebih
tinggi (P<0,05) dibanding pada PDIE tinggi (6,74) dan PDIS (8,61 mmol/100
ml), konsentrasi NH3 pada sapi yang diberi ransum PDIS nyata lebih
tinggi dibanding pada sapi yang mendapat ransum PDIE tinggi. Konsentrasi VFA
pada sapi perah yang diberi ransum PDIE (88,53) nyata lebih tinggi (P< 0,05)
dibanding yang diberi ransum PDIN (80,94) dan PDIS (78,94 mmol/ l).
Kata kunci : pH, NH3, VFA, nitrogen, energi,
suplementasi
PENDAHULUAN
Limbah
pertanian berupa jerami padi sangat potensial dimanfaatkan sebagai pakan karena
tersedia cukup banyak di Indonesia. Penggunaan limbah pertanian berupa jerami
padi sebagai pakan tunggal belum dapat memenuhi kebutuhan protein dan energi
untuk ternak. Hal ini karena kandungan ligno-selulosa yang tinggi dan kandungan
PK yang rendah menyebabkan rendahnya kemampuan ternak dalam mengkonsumsi bahan
kering (BK) yang pada akhirnya menyebabkan rendahnya nilai cerna sehingga
memberikan produktivitas yang rendah.
Suplementasi
bahan pakan baik sumber protein maupun sumber energi pada ternak yang diberi
pakan basal jerami padi yang pernah dilakukan hanya sebatas pada pemenuhan
kebutuhan nutrien bagi mikrobia rumen agar kecernaan jerami padi meningkat.
Aplikasi teknologi formulasi ransum yang seimbang dengan menerapkan sistem PDI
(“protein truly digestible in the small intestine”) diharapkan dapat memberikan
produksi mikrobia rumen yang opti-mal (pelepasan prekursor N dan kerangka
karbon yang sinkron) dan akhirnya pemanfaatan serat di dalam rumen serta
pasokan nutrien di intestinum untuk inang menjadi meningkat. Sistem PDI
didasarkan pada estimasi ketersediaan asam amino di intestinum yang berasal
dari protein pakan yang tidak terdegradasi (PDIA) dan protein mikrobia
(Jarrige, 1989). Protein pakan yang tidak terdegradasi dalam rumen (PDIA)
sangat diperlukan oleh ruminansia terutama yang berproduksi tinggi, sedangkan
sintesis protein mikrobia tergantung dari ketersediaan nutrient terutama
energi, komponen nitrogen, sulfur dan lain-lain. VFA merupakan sumber energi dan
kerangka karbon sedangkan NH3 sebagai sumber N untuk membentuk
protein mikrobia. Kondisi yang ideal bagi terbentuknya protein mikrobia apabila
sumber karbohidrat terfermentasi tersedia serempak dengan sumber protein
(Widyobroto 1992). Satter dan Slyter (1974), menjelaskan bahwa maksimum laju
sintesis protein mikrobia akan tercapai jika konsentrasi NH3
berkisar antara 3,0 – 8,0 mg/100 ml cairan rumen. Menurut McDonald et al,
(1988), konsentrasi VFA dalam
rumen bervariasi antara 0,2 – 1,5
g/100ml atau
10 – 70 mmol/l.Ketersediaan prekursor
bagi pertumbuhan dan perkembangan mikrobia rumen, dan juga sintesis protein
mikrobia di dalam ru-men dapat diketahui dengan mengevaluasi kondisi parameter
fermentasi rumen. Jumlah prekursor energi dan N sering merupakan faktor
pembatas utama sintesis protein mikrobia, tetapi juga tergantung dari kinetik
ketersediaan nutrien sepanjang hari dari intensitas aktivitas mikrobia dalam
rumen (Sauvant et al., 1995).
Penggunaan
jerami padi sebagai pakan basal yang mendapat suplementasi N tinggi (ransum
PDIN), E tinggi (ransum PDIE) dan N-E seimbang (ransum PDIS), akan memberikan
pa-rameter fermentasi rumen yang berbeda. Ransum PDIN diformulasi dengan
prekursor N tinggi diharapkan mampu menyediakan prekursor N tinggi bagi
pertumbuhan mikrobia rumen, ransum PDIE diformulasi dengan prekursor E tinggi
diharapkan mampu meyediakan energi yang tinggi bagi pertumbuhan mikrobia rumen,
sedangkan ransum PDIS diharapkan mampu menyediakan nutrien baik N maupun E yang
seimbang bagi pertumbuhan mikrobia rumen.
MATERI DAN METODE
Penelitian
dilakukan di jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas
Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta selama 4 minggu. Penelitian ini menggunakan 5 ekor
sapi PFH betina yang difistula pada bagian rumennya
Tabel
1. Komposisi Ransum




Bahan
Pakan
|
Ransum
|
Ransum PDIE
|
Ransum PDIS
|
||||||
PDIN
|
|||||||||
------------------ (%)
-----------------
|
|||||||||
Bekatul
|
4,02
|
1,80
|
1,00
|
||||||
Onggok
|
16,50
|
2,00
|
2,65
|
||||||
Cassava
|
0,00
|
2,00
|
0,00
|
||||||
Kulit biji
Jagung
|
5,52
|
12,00
|
12,35
|
||||||
Pollard
|
7,02
|
0,00
|
1,90
|
||||||
Kulit biji
kopi
|
3,00
|
9,00
|
11,00
|
||||||
Bungkil
kedelai terproteksi
|
1,50
|
8,00
|
12,90
|
||||||
Bungkil
Kelapa
|
0,00
|
5,00
|
0,00
|
||||||
Bungkil kapok
|
7,98
|
0,00
|
0,50
|
||||||
Bungkil
kedelai
|
1,5
|
4,00
|
0,40
|
||||||
Urea
|
1,98
|
0,00
|
1,10
|
||||||
Jagung
|
10,62
|
10,60
|
16,20
|
||||||
Tepung
Ikan
|
0,00
|
3,60
|
0,00
|
||||||
Mollases
|
0,00
|
2,00
|
0,00
|
||||||
Mineral
|
0,36
|
0,00
|
0,00
|
||||||
Jerami
padi
|
40,00
|
40,00
|
40,00
|
||||||
Tabel 2. Komposisi Kimia Ransum (%BK)
|
|||||||||
Komposisi
kimia
|
Jenis ransum
|
||||||||
PDIN
|
PDIE
|
PDIS
|
|||||||
Bahan Keringa)
|
------------------- (%)
------------------------
|
||||||||
88,40
|
88,23
|
85,93
|
|||||||
Abua)
|
9,93
|
10,87
|
9,92
|
||||||
Lemak Kasara
|
3,02
|
2,93
|
2,71
|
||||||
Protein Kasara)
|
18,40
|
18,05
|
18,20
|
||||||
Serat Kasar a)
|
20,29
|
19,00
|
19,79
|
||||||
TDN a)
|
60,51
|
60,94
|
61,17
|
||||||
PDINb)
|
14,27
|
11,84
|
11,98
|
||||||
PDIEb)
|
9,50
|
12,50
|
11,90
|
||||||
NDFa)
|
82,08
|
74,28
|
77,22
|
||||||
ADFa)
|
31,03
|
32,16
|
33,74
|
||||||
Hemiselulosa
|
51,05
|
42,12
|
43,48
|
||||||
Sumber:
|
a
|
Analisis
proksimat
|
|||||||
b
|
|||||||||
Hasil perhitungan menurut Jarrige (1989)
|
|||||||||
ETN
|
:
|
ekstrak
tanpa nitrogen
|
|||||||
TDN
|
:
|
total
digestible nutrients
|
|||||||
NDF
|
:
|
neutral
detergent fiber
|
|||||||
PDIN
|
:
|
Protein digestible in the small intestine supplied by rumen undegraded
|
|||||||
dietary protein and by microbial protein from rumen degraded protein
|
|||||||||
PDIE
|
:
|
Protein digestible in the small intestine supplied by rumen undegraded
|
|||||||















dengan bobot badan antara 250 – 300 kg
dan berumur 2,0 – 2,5 tahun, digunakan untuk pengukuran parameter fermentasi
rumen. Ransum yang diberikan berupa jerami padi sebagai pakan basal dengan
suplementasi sumber nitrogen (N) tinggi (PDIN), sumber energi (E) tinggi (PDIE)
dan sumber nitrogen dan energi seimbang (PDIS). Ransum diberikan kepada 5 ekor
ternak, dengan cara bergiliran sehingga kelima ekor ternak tersebut mendapatkan
semua jenis ransum (cross over design). Komposisi ransum dan
kimia ransum selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.
Tabel 3. Kinetik pH Cairan Rumen dan
Rerata 24 jam pada Sapi PFH yang Diberi Pakan Basal Jerami Padi dengan
Suplementasi Nitrogen Tinggi (PDIN), Energi Tinggi (PDIE) dan Nitrogen-Energi
Seimbang (PDIS)



Waktu
|
Jenis Ransum
|
||||
Pengambilan (jam)
|
PDIN
|
PDIE
|
PDIS
|
Signifikasi
|
|
0
|
7,08
|
7,16
|
7,16
|
NS
|
|
1
|
7,14
|
7,16
|
7,16
|
NS
|
|
2
|
7,13a
|
7,09b
|
7,15a
|
*
|
|
3
|
7,11
|
7,13
|
7,12
|
NS
|
|
4
|
7,15
|
7,15
|
7,15
|
NS
|
|
5
|
7,18
|
7,14
|
7,17
|
NS
|
|
Rerata 24 Jam
|
7,18
|
7,14
|
7,18
|
NS
|













a,b superskrip yang berbeda pada satu
baris menunjukkan perbedaan (P< 0,05)* NS = non signifikan





Cairan
rumen diambil dari 5 ekor sapi PFH yang difistula, masing-masing sebanyak 300
ml untuk memperoleh data parameter fermentasi ru-men (pH, NH3 dan
VFA). Setiap pengambilan cairan rumen, untuk analisis kadar NH3
diambil sebanyak 5 ml ditambahkan pengawet NaCl 20% sebanyak 5 ml, dan untuk
analisis VFA diambil sebanyak 10 ml dan ditambahkan pengawet HgCl2H3PO4
sebanyak 1 ml. Guna mendapatkan kinetik dan rata-rata pH, VFA dan NH3
dilakukan pengambilan cairan rumen setelah pemberian pakan, yaitu jam 08.00,
09.00, 10.00, 11.00, 12.00, 14.00, 16.00,
18.00, 20.00, 22.00, 24.00, 02.00, 04.00, 06.00 (kinetik fermentasi rumen yang
digaris bawahi).
Analisis
komposisi kimia pakan, dilakukan di Laboratorium Teknologi Makanan Ternak,
sedangkan analisis NH3 dilakukan di Laboratorium Biokimia Nutrisi
Fakultas Peternakan UGM. Analisis VFA cairan rumen dilakukan di Laboratorium
Pangan dan Gizi, Pusat Antar Uni-versitas (PAU) UGM.
Variabel
Pengamatan. Varibel yang diukur adalah pH, konsentrasi NH3 dan VFA.
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter (Merk WTW pH 320),
konsentrasi VFA diukur dengan menggunakan Gas Chromatographi sedang konsentrasi
NH3 diukur dengan Spektrofotometer.
Analisis
data. Data fermentasi rumen (Kinetik pH, NH3, VFA) dianalisis
variansi. Apabila perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan
dengan Duncan’s mul-tiple range test (Steel dan Torrie, 1970).
HASIL
Kinetik pH Cairan Rumen
Kinetik pH
cairan rumen dan rerata selama 24 jam pada sapi PFH yang diberi pakan basal
jerami padi dengan suplementasi N tinggi (PDIN), E tinggi (PDIE) dan N-E
seimbang (PDIS) disajikan pada Tabel 3.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perbedaan suplementasi pakan memberikan perbedaan
nyata (P<0,05) terhadap kinetik pH cairan rumen pada 2 jam setelah
distribusi ransum. Perbedaan pH pada 2 jam setelah distribusi ransum disebabkan
oleh aktivitas mikrobia rumen dalam mencerna ransum. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada 2 jam setelah distribusi ransum pada sapi yang diberi
suplementasi PDIS memberikan kondisi pH rumen sebesar 7,15 dan berbeda nyata
dengan suplementasi PDIN (7,13), namun tidak memberikan perbedaan yang nyata
dengan kondisi pH pada ternak yang mendapat suplementasi PDIE (7,09).
Rerata
nilai pH cairan rumen selama 24 jam pada ransum PDIN, PDIE dan PDIS
masing-masing sebesar 7,18; 7,14 dan 7,18, menunjukkan perbedaan yang tidak
nyata. Namun demikian, nilai pH ransum PDIN dan PDIS cenderung lebih tinggi
dibanding dengan ransum PDIE.
Hasil
analisis variansi menunjukkan bahwa waktu setelah distribusi ransum berpengaruh
sangat nyata (P< 0,01) dan interaksi antara waktu setelah pemberian ransum
dan perlakuan ransum berbeda nyata (p< 0,05) terhadap pH cairan rumen. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan pH cairan rumen sangat
dipengaruhi oleh waktu pemberian ransum dan jenis ransum yang diberikan.
Kinetik NH3 Cairan Rumen
Kinetik NH3
cairan rumen dan rerata selama 24 jam pada sapi PFH yang diberi pakan basal
jerami padi dengan suplementasi N tinggi (PDIN), E tinggi (PDIE) dan N-E
seimbang (PDIS) disajikan pada Tabel 4.
Hasil
penelitian menunjukkan konsentrasi NH3 cairan rumen berbeda nyata
(P< 0,05) pada Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata
terhadap kinetik total VFA cairan rumen sapi PFH pada 0, 1, 3 dan 4 jam setelah
distribusi ransum. Namun demikian terdapat perbedaan nyata (P<0,05) pada 2
dan 5 jam setelah distribusi ransum.Total VFA pada ransum PDIE memperlihatkan
konsentrasi tertinggi pada 2 jam setelah distribusi ransum. Pada ransum PDIN
dan PDIS total VFA tertinggi dicapai pada 3 jam setelah distribusi ransum, dan
kemudian pada masing-masing ransum konsentrasi total VFA ini cenderung
Tabel 4.
Kinetik NH3 Cairan Rumen dan Rerata selama 24 jam pada Sapi PFH yang
Diberi PakaN Basal Jerami Padi dengan SuplementasiNitrogen Tinggi (PDIN),
Energi Tinggi (PDIE) dan Nitrogen-Energi Seimbang (PDIS)



Waktu
|
Jenis Ransum
|
|||||
Pengambilan (Jam)
|
PDIN
|
PDIE
|
PDIS
|
Signifikasi
|
||
0
|
5,88
|
5,72
|
7,31
|
NS
|
||
1
|
18,09a
|
7,59b
|
10,71b
|
*
|
||
2
|
22,14a
|
8,86c
|
13,59b
|
*
|
||
3
|
14,76a
|
7,47c
|
9,76b
|
*
|
||
4
|
11,98a
|
6,29b
|
7,20b
|
*
|
||
5
|
9,50a
|
6,03b
|
6,30b
|
*
|
||
Rerata 24 Jam
|
8,58a
|
5,19b
|
5,41b
|
*
|













a,b,c superskrip yang berbeda pada satu
baris menunjukkan perbedaan nyata (P< 0,05)* NS = non signifikan









1, 2, 3, 4, dan 5 jam setelah
distribusi ransum. Konsentrasi NH3 cairan rumen sapi PFH pada 1, 2,
3, 4, dan 5 jam setelah distribusi ransum pada ransum PDIN paling tinggi
kemudian ransum PDIS dan yang paling rendah adalah pada ransum PDIE.
Rata-rata
konsentrasi NH3 selama 24 jam pada ransum PDIN, PSIE dan PDIS
masing-masing sebesar 8,5,; 5,19, dan 5,41 mg/100ml menunjukkan perbedaan yang
nyata (P< 0,05). Pada penelitian ini konsentrasi NH3 cairan rumen
pada ketiga jenis ransum sebesar 5,88 sampai 22,14 mg/100 ml, masih dalam
kisaran normal untuk perkembangan mikrobia rumen.
Kinetik Total VFA Cairan Ruman
Kinetik VFA
cairan rumen dan rerata selama 24 jam pada sapi PFH yang diberi pakan basal
jerami padi dengan suplementasi N tinggi (PDIN), E tinggi (PDIE) dan N-E
seimbang (PDIS) dusajikan pada Tabel 5.mengalami penurunan.
Secara umum
konsentrasi total VFA mengalami peningkatan setelah distribusi ransum. Kinetik
total VFA setelah mencapai konsentrasi optimal, kemudian akan mengalami
penurunan. Rerata total VFA cairan rumen selama 24 jam pada ransum PDIN, PDIE
dan PDIS masing-masing sebesar 103,18, 102,3, dan 77,32 mmol/l dan tidak
menunjukkan perberbeda yang nyata.
PEMBAHASAN
Kinetik pH
cairan rumen pada ransum PDIN dan PDIS mengalami peningkatan pada 1 jam setelah
distribusi ransum, kemudian menurun sampai 3 jam setelah distribusi ransum.
Nilai pH kemudian mengalami peningkatan sampai pada 5 jam setelah distribusi
ransum. Peningkatan pH setelah 1 jam distribusi ransum pada PDIN dan
PDIS yang terjadi sejalan dengan
peningkatan produksi NH3, namun demikian peningkatan konsentrasi NH3
yang terjadi pada ransum PDIN dan PDIS diikuti dengan peningkatan produksi VFA
sampai 3 jam setelah distribusi ransum dan kemudian mengalami penurunan.
Tingginya konsentrasi NH3 pada ransum PDIN disebabkan oleh kandungan
prekursor N pada ransum tersebut yang relatif lebih tinggi dibanding pada kedua
ransum lainnya. Hal ini akan menyebabkan ketersediaan N di dalam rumen cukup
tinggi, sehingga ketersediaan prekursor N bagi mikrobia mikrobia rumen lambat,
akibatnya degradasi karbohidrat akan terhambat.
Tingginya
konsentrasi NH3 pada ransum PDIN dan PDIS tidak menyebabkan
terjadinya peningkatan pH yang cukup signifikan, hal ini karena diimbangi
dengan produksi VFA yang cukup tinggi sampai 3 jam setelah distribusi ransum.
Namun demikian konsentrasi VFA setelah 3 jam cenderung menurun, sehingga
terjadi peningkatan pH pada ransum PDIN dan PDIS.
Nilai pH
pada ternak yang diberi ransum PDIE mencapai titik terendah pada 2 jam setelah
Tabel 5.
Kinetik VFA Cairan Rumen dan Rerata selama 24 jam pada Sapi PFH yang Diberi
Pakan Basal Jerami Padi dengan SuplementasiNitrogen Tinggi (PDIN), Energi
Tinggi (PDIE) dan Nitrogen-Energi Seimbang (PDIS)



Waktu
|
Jenis Ransum
|
|||
Pengambilan (Jam)
|
PDIN
|
PDIE
|
PDIS
|
Signifikasi
|
0
|
78,01
|
88,19
|
77,81
|
NS
|
1
|
73,41
|
75.93
|
76,68
|
NS
|
2
|
83,60b
|
103,09a
|
79,29b
|
*
|
3
|
90,75
|
91,83
|
92,50
|
NS
|
4
|
71,44
|
75,76
|
79,03
|
NS
|
5
|
66,21b
|
88,56a
|
69,94b
|
*
|
Rerata 24 Jam
|
103,18
|
102,30
|
77,32
|
NS
|













a,b,c superskrip yang berbeda pada satu
baris menunjukkan perbedaan nyata (P< 0,05)* NS = non signifikan





rumen yang mendegradasi ransum
berkembang cukup baik. Hal ini mendukung hasil penelitian Nuswantara et al.
(2005), yang menyatakan bahwa kecernaan protein pada ransum PDIN yang tinggi
diduga berkaitan dengan kandungan protein kasar dan tingkat degradabilitas
protein bahan pakan penyusun ransum. Ransum PDIN tinggi tersusun atas bahan
pakan dengan kandungan protein kasar dan tingkat degradabilitas yang tinggi.
Tingginya degradabilitas protein ransum mengakibatkan ketersediaan prekursor N
dalam rumen untuk sintesis protein mikrobia juga tinggi. Lebih lanjut
Widyobroto et al. (1995), menyatakan bahwa konsentrasi amonia di dalam
rumen juga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah solubilitas dan
laju degradasi protein ransum. Lebih lanjut Mc Donald et al. (1988),
menambahkan bahwa apabila pakan rendah kandungan proteinnya atau protein tahan
terhadap degradasi mikrobia rumen maka konsentrasi amonia rumen akan rendah dan
pertumbuhan distribusi ransum dengan nilai pH sebesar 7,09. Penurunan pH diduga
terjadi karena aktivitas mikrobia dalam mendegradasi ransum sehingga
menghasilkan produk fermentasi berupa VFA. Sedangkan pada sapi dengan ransum
PDIE terjadi turunnya pH sampai mencapai titik terendah terjadi lebih awal
dibanding dengan kedua ransum lainnya. Hal ini terjadi karena selain ransum
PDIE disusun dengan tujuan memberikan sumber energi yang melimpah bagi mikrobia
rumen, juga disebabkan oleh intake bahan organik dari ransum ini yang juga
lebih tinggi (Nuswantara et al., 2005), sehingga menyebabkan bahan
organik terfermentasi dalam rumen juga tinggi. Hasil fermentasi bahan organik
ini diantaranya adalah VFA, sehingga semakin banyak bahan organik yang
terfermentasi, total VFA cairan rumen yang diproduksi akan semakin meningkat.
Selanjutnya konsentrasi VFA di dalam rumen dan proporsinya dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu tipe ransum (komposisi ransum), pengolahan ransum (pemanasan, bentuk pellet) dan
frekuensi pemberian ransum (Preston dan Willis, 1974).
Kisaran
nilai pH cairan rumen yang diperoleh sebesar 6,96 – 7,18 masih berada pada
kisaran pH sebesar 5,5 – 7,2 (Owens dan Goestsch, 1988). Nilai pH pada saat
diberi ransum (0 jam setelah pemberian ransum) pada ternak yang diberi ransum
PDIE dan PDIS menunjukan pH yang lebih tinggi (7,16 dan 7,16) dibanding pada
ternak yang diberi ransum PDIN yaitu 7,08, hal ini disebabkan rata-rata
konsentrasi VFA selama 24 jam pada ransum PDIN lebih tinggi dibanding kedua
ransum lainnya, sehingga pH cairan rumen yang dihasilkan juga lebih rendah.
Rata-rata pH cairan rumen sapi PFH pada penelitian ini masih dalam kisaran pH
yang normal sehingga aktivitas bakteri selulolitik tidak terhambat. Aktivitas
bakteri selulolitik terhambat apabila pH cairan rumen dibawah 6,2 dan aktivitas
akan optimal di dalam rumen pada pH 6,7 0,5 point (Van Soest, 1994). Namun
demikian nilai pH yang didapat dalam penelitian ini masih dalam kisaran normal.
Hal ini sesuai dengan pendapat Ørskov dan Ryle (1990) yang menyatakan bahwa
bakteri selulolitik memerlukan pH rumen sekitar 6,2-7,0 untuk berkembang secara
cepat.
Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa konsentrasi NH3 cairan rumen pada
ketiga jenis ransum sebesar 5,88 sampai 22,14 mg/100 ml, masih dalam kisaran
normal untuk perkembangan mikrobia rumen. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan
Leng (1980), bahwa konsentrasi NH3 cairan rumen bervariasi antara 1
– 34 mg/100 ml cairan rumen. Satter dan Slyter (1974), menjelaskan bahwa
maksimum laju sintesis pro-tein mikrobia akan tercapai jika konsentrasi NH3
berkisar antara 3,0 – 8,0 mg/100 ml cairan rumen, ditambahkan oleh Blanchart
(1984) yang disitasi oleh Widyobroto et al. (1995), bahwa perkembangan
mikrobia rumen maksimum diperlukan konsentrasi NH3 sekitar 2,3 –
13,3 mg/ 100ml.
Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa total VFA cairan rumen yang didapat berkisar
66,21 sampai 103,18 mmol/l, dan masih lebih tinggi dari hasil penelitian (Budhi
et al., 2000), yaitu pada sapi PO yang mendapat ransum tunggal jerami
padi, jerami padi amoniasi dan jerami kedele didapat konsentrasi total VFA
berkisar antara 50,10 sampai 85,77. Konsentrasi VFA pada penelitian ini masih
memenuhi standard bagi perkembangbiakan mikrobia rumen. Hal ini sesuai dengan
pernyataan McDonald et al. (1988), yang menyatakan bahwa konsentrasi VFA
dalam rumen bervariasi antara 0,2 – 1,5 g/100ml atau 10 – 70 mmol/l. Sutardi et
al. (1979) menyatakan bahwa guna menunjang pertumbuhan mikrobia yang
op-timum, dibutuhkan kadar ammonia dan VFA nasing-masing sebesar 4 – 12 mM dan
konsentrasi VFA rumen berkisar antara 80 – 160 mM.
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ketiga ransum baik PDIN, PDIE dan PDIS
memberikan kondisi pH yang relatif sama. Pada ransum PDIN memberikan
konsentrasi NH3 paling tinggi disusul ransum PDIS dan PDIE,
sedangkan untuk konsentrasi VFA pal-ing tinggi terjadi pada ransum PDIE disusul
ransum PDIN dan PDIS. Kisaran pH dan konsentrasi NH3 maupun VFA
cairan rumen yang diperoleh masih dalam kisaran normal untuk pertumbuhan
mikrobia rumen.